Thursday, April 8, 2010

Candi Mendut



A. Candi Mendut

Candi Mendut merupakan candi yang terletak paling timur dari garis lurus tiga serangkai candi (Borobudur, Pawon, Mendut). Candi ini didirikan oleh dinasti Syailendra dan berlatar berlakang agama Budha, dimana hal ini ditunjukkan dengan adanya bentuk stupa sebanyak 48 buah pada bagian atasnya.Tidak diketahui secara pasti kapan candi ini didirikan. Namun seorang arkeologi Belanda menyebutkan bahwa di dalam prasasti yang ditemukan di desa karangtengah bertarikh 824M dikemukakan bahwa raja Indra telah membangun bangunan suci bernama venunava yang artinya adalah hutan bambu. Jika hal ini benar maka bisa dipastikan Candi Mendut didirikan pada abad ke 8 Masehi.

Di dalam Candi Mendut terdapat 3 (tiga) patung besar.

1. Cakyamuni yang sedang duduk bersila dengan posisi tangan memutar roda dharma.

2. Awalokiteswara sebagai Bodhi Satwa membantu umat manusia
Awalokiteswara merupakan patung amitabha yang berada di atas mahkotanya, Vajrapani. Ia sedang memegang bunga teratai merah yang diletakkan di atas telapak tangan.

3. Maitreya sebagai penyelamat manusia di masa depan

Arca-arca Budha yang berada di dalam bilik Candi Mendut ini adalah, Arca Dyani Budha Cakyamuni atau Vairocana, Arca Budha Avalokitesvara atau Lokesvara, dan Arca Bodhisatva Vajrapani. Arca Dyani Budha Cakyamuni menghadap ke barat (yang berada di tengah), duduk dengan posisi kedua kakinya menyiku ke bawah, menapak pada landasan berbentuk bunga teratai. Sikap tangan ‘dharmacakramudra’ yang bermakna sedang memutar ‘roda kehidupan’.

Arca Bodhisatva Avalokitesvara berada di sebelah utara arca Dyani Budha Cakyamuni, menghadap ke selatan. Arca ini digambarkan dalam posisi duduk, kaki kiri dilipat kedalam dan kaki kanan menjuntai ke bawah. Sikap tangannya, ‘varamudra’ yang bermakna sedang memberi atau menyampaikan ajaran. Pengarcaan Budhisatva Avalokitesvara ini mengenakan pakaian kebesaran dengan perhiasan-perhiasan di telinga, leher dan kelat bahu, serta memakai mahkota. Arca Bodhisatva Vajrapani yang terletak di sebelah kiri arca Budha Sakyamuni menghadap ke utara, digambarkan dengan mengenakan pakaian kebesaran seperti arca Bodhisatva Avalokitesvara. Pengarcaannya dengan posisi duduk, kaki kanan dilipat dengan telapak kaki menyentuh paha, kaki kiri menjuntai ke bawah.
Bangunan candi Mendut berdiri di atas ‘basement’ (dasar candi) setinggi 3,70 meter sehingga tampak anggun, kokoh dan berwibawa. Ukuran dasar candi 13,70 meter x 13,70 meter. Jumlah tataran naik candi ada 14 trap, menghadap ke barat laut. Arah hadap ini tidak lazim untuk candi-candi di Jawa Tengah. Karena pada umumnya candi-candi di Jawa Tengah menghadap ke timur. Di atas basement ada lorong yang mengelilingi badan candi selebar 2,48 meter. Bagian atap candi terdiri tiga tingkat dengan hiasan stupa-stupa kecil berjumlah 48 buah. Dari gambar rekonstruksi, di candi ini semula ada puncak candi. Namun sayang, bagian puncak candi yang indah itu sampai kini belum berhasil direkonstruksi. Batu batu bangunan dan ornamen candi yang belum bisa disusun kembali kini tertata rapi di pelataran candi sebelah utara. Kini tinggi bangunan candi ini 26,50 meter.

Candi Mendut memang lain dengan candi-candi yang ada di Indonesia. Sebagai candi Budha, candi ini mempunyai daya tarik tersendiri. Tidak saja keberadaan arca Budha ukuran besar, candi ini juga dihiasi dengan relief-relief yang menggambarkan ceritera-ceritera Jataka, yang sarat dengan makna ajaran-ajaran hukum ‘Sebab dan Akibat.’ Relief-relief itu terpahat di panel-panel luar sayap tangga bagian bawah. Relief di sebelah kanan menggambarkan ceritera, kura-kura yang dalam keadaan bahaya diselamatkan oleh dua ekor burung bangau. Ternyata burung bangau itu menipu kura-kura. Penyelamatannya, si kura-kura menggigit sebatang kayu dibawa terbang dua ekor burung bango itu untuk dibawa ke sebuah telaga. Karena si kura-kura ditipu, dia berani melawan burung itu dengan menggigit lehernya. Maka matilah burung-burung itu karena perbuatan jahatnya. Relief ceritera fabel (ceritera dengan tokoh hewan) lainnya di panel lain, mengisahkan tentang seekor kera yang ditolong dan diseberangkan seekor buaya. Si kera naik di punggung buaya. Sebenarnya si buaya ingin memakan hati kera. Di tengah sungai buaya berhenti, dan ingin merobek perut kera dengan giginya yang tajam. Namun dengan cerdiknya si kera mengatakan kepada buaya bahwa hatinya ditinggal di seberang sungai. Dan buaya bodoh itu percaya omongan kera, yang kemudian diperintah kera untuk terus membawanya sampai ke seberang sungai. Setibanya di seberang sungai, si kera meloncat menyelamatkan diri.

Di relief lain menggambarkan ceritera, seekor gajah yang menjadi ganas ketika berada di tengah-tengah mereka yang sedang dihukum karena kejahatan. Tetapi gajah itu menjadi lembut dan jinak ketika berada di dekat para pertapa, para bhiku, yang suasananya tenang dan teduh. Dan masih banyak lagi relief ceritera fable dari kisah Jataka yang dipahatkan di candi ini. Karena candi ini dulu dibangun tidak hanya sebagai tempat pemujaan dan samadi, tetapi juga sebagai tempat untuk memperdalam ajaran-ajaran Budha bagi umatnya.
Di sebelah kanan pintu masuk ke bilik candi (sisi utara), ada sebuah relief Kuvera. Relief ini menggambarkan dewa Kuwera, Dewa Kekayaan. Penggambarannya, ada seorang lelaki yang yang duduk dikelilingi anak-anak. Di bawahnya ada kendi-kendi yang penuh dengan uang. Konon, Kuvera pada mulanya adalah raksasa bengis pemakan manusia. Tetapi setelah bertemu dengan sang Budha dan diberi ajaran moral dan budi pekerti luhur, dia bertobat dan berubah perangai menjadi pelindung anak-anak. Di sisi kiri (sisi selatan) pintu masuk ke bilik candi, terpahatkan relief Hariti yang duduk memangku anak. Di sekeliling Hariti ada banyak anak sedang bermain. Seperti Kuvera, awal mulanya Hariti juga raseksi pemakan manusia, dan setelah sadar dan bertobat berubah menjadi pelindung anak-anak setelah berjumpa dan diberi ajaran kebaikan oleh sang Budha. Bahkan Hariti juga dikenal sebagai Dewi Kesuburan.
Candi yang berlokasi di Kelurahan Mendut kawasan Kota Mungkid ini kira-kira 3 kilometer di sebelah timur candi Borobudur. Sampai kini tidak diketahui dengan pasti, kapan candi ini dibangun. Drs. Soediman dalam buku panduan berbahasa Inggeris, ‘Chandi Mendut. Its relationship with Pawon and Borobudur’ menuliskan, dalam desertasi ahli purbakala Belanda, J.G. de Casparis menghubungkan candi ini dengan Raja dari wangsa Syailendra, Indra. Dalam prasasti Karangtengah yang berangka tahun 824 M pada masa pemerintahan Raja Samaratungga menyebutkan bahwa Raja Indra, ayahanda Raja Samaratungga, telah mendirikan bangunan suci bernama ‘Venuvana’, yang bermakna hutan bambu. Dan menurut Bhiku Sri Pannyavaro Mahathera dalam narasi di film video dokumenter “Permata yang terlupakan, candi-candi Budhis di Jawa” menyebutkan, nama asli candi ini adalah ‘Venuvana Mandira’, yang berarti istana di tengah hutan bambu.

Ketika ditemukan kembali pada tahun 1834, candi ini tertutup tanah dan semak belukar. Seperti halnya Candi Borobudur, candi ini diperkirakan juga menjadi korban mahapralaya letusan dahsyat Gunung Merapi tahun 1006 M. Sehingga rusak porak poranda tertimpa material vulkanis Merapi. Dan selama berabad-abad candi ini ‘tenggelam’ ditelan jaman, seiring dengan perpindahan pusat kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.
Upaya membersihkan dan menyusun kembali candi ini dilakukan pada masa penjajahan Belanda tahun 1897. Pada tahun 1901 sampai dengan 1904, Brandes tidak puas dengan hasil itu dan berupaya untuk merekonstruksi. Tetapi pekerjaan itu dihentikan sebelum selesai. Sehingga upaya untuk merekonstruksi candi ini diambil alih oleh Van Erp pada tahun 1908, bersamaan dengan upaya merekonstruksi Candi Borobudur. Dia berhasil merekonstruksi candi ini sampai pada tahap menyusun sebagian atap candi. Pada tahun 1925 beberapa stupa kecil hiasan atap candi berhasil dipasang kembali.

B. Relief-relief

Di bawah ini pembicaran mendetail beberapa relief akan disajikan.

1. Relief 1 (Brahmana dan seekor kepiting)

Pada relief ini terdapat lukisan cerita hewan atau fabel yang dikenal dari Pancatantra atau jataka. Cerita lengkapnya disajikan di bawah ini:

Maka adalah seorang brahmana yang datang dari dunia bawah dan bernama Dwijeswara. Ia sangat sayang terhadap segala macam hewan.

Maka berjalanlah beliau untuk bersembahyang di gunung dan berjumpa dengan seekor kepiting di puncak gunung yang bernama Astapada, dibawa di pakaiannya. Maka kata sang brahmana: “Kubawanya ke sungai, sebab aku merasa kasihan.” Maka iapun berjalan dan berjumpa dengan sebuah balai peristirahatan di tepi sungai. Lalu dilepaslah si kepiting oleh sang brahmana. Si Astapada merasa lega hatinya. Sedangkan sang brahmana beristirahat di balai-balai ini. Ia tidur dengan nikmat, hatinya nyaman.

Adalah seekor ular yang berteman dengan seekor gagak dan merupakan ancaman bagi sang brahmana. Maka kata si ular kepada kawannya si gagak: “Jika ada orang datang ke mari untuk tidur, ceritakan padaku, aku mangsanya.”

Si gagak melihat sang brahmana tidur di balai-balai. Segeralah keluar si ular katanya: “Aku ingin memangsa matanya kawan.” Begitulah perjanjian mereka.

Si kepiting yang dibawa oleh sang brahmana mendengar. Lalu kata si kepiting di dalam hati: “Aduh, sungguh buruk kejahatan si gagak dan ular. Sama-sama buruk kelakuannya.” Terpikir olehnya bahwa si kepiting berhutang budi kepada sang brahmana. Ia ingin melunasi hutangnya, maka pikirnya. “Ada siasatku, aku akan berkawan dengan keduanya.” Maka ujar si kepiting, “Wahai kedua kawanku, akan kupanjangkan leher kalian, supaya lebih nikmat kalau kalian ingin memangsa sang brahmana.” – “Aku setuju dengan usulmu, dengan segera.” Begitulah kata si gagak dan si ular keduanya. Kedua-keduanya ikut menyerahkan leher mereka dan disupit di sisi sana dan sini oleh si kepiting dan keduanya langsung putus seketika. Matilah si gagak dan si ular.

2. Relief 2 (Angsa dan kura-kura)

Pada relief ini terdapat lukisan cerita hewan atau fabel yang dikenal dari Pancatantra atau jataka. Cerita lengkapnya disajikan di bawah ini. Namun cerita yang disajikan di bawah ini agak berbeda versinya dengan lukisan di relief ini:

Ada kura-kura bertempat tinggal di danau Kumudawati. Danau itu sangat permai, banyak tunjungnya beranekawarna, ada putih, merah dan (tunjung) biru.

Ada angsa jantan betina, berkeliaran mencari makan di danau Kumudawati yang asal airnya dari telaga Manasasara.Adapun nama angsa itu, si Cakrangga (nama) angsa jantan, si Cakranggi (nama) angsa betina. Mereka itu bersama-sama tinggal di telaga Kumudawati.

Maka sudah lamalah bersahabat dengan kura-kura. Si Durbudi (nama) si jantan, sedangkan si Kacapa (nama) si betina.

Maka sudah hampir tibalah musim kemarau. Air di danau Kumudawati semakin mengeringlah. [Kedua] angsa, si Cakrangga dan si Cakranggi lalu berpamitan kepada kawan mereka si kura-kura; si Durbudi dan si Kacapa. Katanya:

“Wahai kawan kami meminta diri pergi dari sini. Kami ingin pergi dari sini, sebab semakin mengeringlah air di danau. Apalagi menjelang musim kemarau.Tidak kuasalah kami jauh dari air. Itulah alasannya kami ingin terbang dari sini, mengungsi ke sebuah danau di pegunungan Himawan yang bernama Manasasana. Amat murni airnya bening dan dalam. Tidak mengering walau musim kemarau sekalipun. Di sanalah tujuan kami kawan.” Begitulah kata si angsa.Maka si kura-kurapun menjawab, katanya:

“Aduhai sahabat, sangat besar cinta kami kepada anda, sekarang anda akan meninggalkan kami, berusaha untuk hidupmu sendiri.

Bukankah (keadaannya) sama kami dengan anda, tidak bisa jauh dari air? Ke mana pun anda pergi kami akan ikut, dalam suka dan duka anda. Inilah hasil persahabatan kami dengan kalian.

Angsa menjawab: “Baiklah kura-kura. Kami ada akal. Ini ada kayu, pagutlah olehmu tengah-tengahnya, kami akan memagut ujungnya sana dan sini dengan isteriku. Kuatlah kami nanti membawa terbang kamu, [hanya] janganlah kendor anda memagut, dan lagi jangan berbicara. Segala yang kita atasi selama kami menerbangkan anda nanti, janganlah hendaknya anda tegur juga. Jika ada yang bertanya jangan pula dijawab. Itulah yang harus anda lakukan, jangan tidak mentaati kata-kata kami. Apabila anda tidak mematuhi petunjuk kami tak akan berhasil anda sampai ke tempat tujuan, akan berakhir mati.”Maka demikianlah kata angsa.

Lalu dipagutlah tengah-tengah kayu itu oleh si kura-kura, ujung dan pangkalnya dipatuk oleh angsa, di sana dan di sini, laki bini, kanan kiri.Segera terbang dibawa oleh angsa, akan mengembara ke telaga Manasasara, tempat tujuan yang diharapkannya. Telah jauh terbang mereka, sampailah di atas ladang Wilanggala.Maka adalah anjing jantan dan betina yang bernaung di bawah pohon mangga. Si Nohan nama si anjing jantan, si Babyan nama si betina. Maka mendongaklah si anjing betina, melihat si angsa terbang, keduanya sama menerbangkan kura-kura. Lalu katanya.“Wahai bapak anakku, lihatlah itu ada hal yang amat mustahil. Kura-kura yang diterbangkan oleh angsa sepasang!”Lalu si anjing jantan menjawab: “Sungguh mustahil kata-katamu. Sejak kapan ada kura-kura yang dibawa terbang oleh angsa? Bukan kura-kura itu tetapi tahi kerbau kering, sarang karu-karu! Oleh-oleh untuk anak angsa, begitulah adanya!” Begitulah kata si anjing jantan.

Terdengarlah kata-kata anjing itu oleh kura-kura, marahlah batinnya. Bergetarlah mulutnya karena dianggap tahi kerbau kering, sarang karu-karu.

Maka mengangalah mulut si kura-kura, lepas kayu yang dipagutnyam jatuhlah ke tanah dan lalu dimakan oleh serigala jantan dan betina.Si angsa malu tidak dipatuhi nasehatnya. Lalu mereka melanjutkan perjalanan melayang ke danau Manasasara.

3. Relief 3 (Dharmabuddhi dan Dustabuddhi)

Cerita ini mengenai dua orang sahabat anak para saudagar. Suatu hari Dharmabuddhi menemukan uang dan bercerita kepada kawannya Dustabuddhi. Lalu mereka berdua menyembunyikan uang ini di bawah sebuah pohon. Setiap kali mereka membutuhkan uang, Dharmabuddhi mengambil sebagian dan membagi secara adil. Tapi Dustabuddhi tidak puas dan suatu hari mengambil semua uang yang tersisa. Ia lalu menuduh Dharmabuddhi dan menyeretnya ke pengadilan. Tetapi akhirnya Dustabuddhi ketahuan dan dihukum.

4. Relief 4 (Dua burung betet yang berbeda)

Relief ini melukiskan cerita dua burung betet bersaudara namun berbeda kelakuannya karena yang satu dididik oleh seorang penyamun. Sedangkan yang satu oleh seorang pendeta.

C. Kronologi Penemuan

* 1836 – Ditemukan dan dibersikan
* 1897 – 1904 kaki dan tubuh candi diperbaiki namun hasil kurang memuaskan.
* 1908 – Diperbaiki oleh Theodoor van Erp. Puncaknya dapat disusun kembali.
* 1925 – sejumlah stupa disusun kembali.



0 comments:

Advertise

e>